Mata Kuliah
Patologi Birokrasi
Tugas Ke 4
PATOLOGI DAN
SITUASI INTERNAL BIROKRASI
Oleh :
MUH ASLAN
411811
PROGRAM STUDI
ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU
SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
PENDAHULUAN
Patologi merupakan kata yang sudah lazim didengar baik
itu dalam ilmu kedokteran apa lagi dalam kehidupan mahasiswa administrasi
Negara pemahaman patologi adalah suatu penyakit dalam birokrasi dimana penyakit
itu muncul karena factor-faktor atau situai yang mendukung terjadinya patologi
itu sendiri.
Kepribadian individu dalam menduduki suatu jabatan dalam
suatu instansi pemerintah sangat berpengaruh terhadap terjadi atau tidaknya
patologi tersebut, jika seseorang mempunyai rasa integritas tinggi terhadap
kemakmuran suatu bangsa maka ia akan tau seberapa buruk dampak patologi
walaupun itu hanya sekedar korupsi waktu.
Makassar, 22 June 2014
Muh Aslan
A.
Jenis
Patologi Dan Situasi Internal Birokrasi
Pemahaman patologi birokrasi secara tepat memerlukan
analisis mendalam tentang konfigurasi birokrasi tersebut. Dengan analisis
konfigurasi itu akan terlihat berbagai situasi internal berbagai situasi
internal yang dapat berakibat negative terhadap birokrasi yang bersangkutan.
Ada berbagai jenis patologi yang terjadi dan biasa
terjadi dalam sebuah instansi pemerintahan yang dikaitkan dengan situasi
internal organisasi diantaranya adalah penempatan tujuan dan sasaran yang tidak
tepat yaitu tujuan dan sasaran yang harus dicapai oleh suatu instansi
pemerintahan merupakan tujuan dan sasaran pemerintah yang ingin dicapai oleh
pemerintah sebagai keseluruhan[1].
Kemudian eksploitasi pegawai atau pejabat birokrasi dimana kasus seperti ini
biasanya dilakukan oleh pemimpin atau pejabat elit dalam suatu instansi dimana
dalam eksploitasi pegawai dilakukan oleh pemimpin kepada bawahannya yang tidak
lagi membedakan yang mana kepentingan public dan mana kepentingan pribadi.
Salah satu contoh pengeksploitasian pegawai yang dilakukan ialan menggunakan
pengemudi atau sopir kantor untuk melayani kepentingan keluarga dengan
menggunakan mobil dinas[2].
B.
Contoh
Kasus Patologi Dalam Situasi Internal Birokrasi
Dalam tugas ini contoh kasus Patologi dalam kaitannya
dengan situasi internal birokrasi adalah eksploitasi, ekstorsi, kondisi kerja
yang kurang memadai, spoils system atau system pilih kasih.
1. EKSPLOITASI TERHADAP FASILITAS NEGARA
a. Penyalahgunaan Fasilitas Negara
Selasa, 01 April 2014 | 09:40
Sungguh tak gampang bagi seorang
pejabat publik yang salah satu kakinya masih menancap kuat di pusaran utama
partai politik. Meski ia berusaha “berganti baju” saat berkampanye, mata publik
tetap tak akan bisa memilah mana fasilitas negara dan mana yang bukan fasilitas
negara yang digunakannya ketika ia turun ke lapangan.
Itulah salah satu sorotan tajam
masyarakat terhadap dugaan penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan
kampanye partai politik saat ini. Sejumlah pejabat negara setingkat menteri
diduga banyak menggunakan fasilitas negara. Salah satu di antaranya adalah
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo yang menggunakan
helikopter menuju Lampung untuk berkampanye. Helikopter yang digunakan itu
tampaknya menggunakan fasilitas negara.
Sorotan yang sama juga diarahkan
kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat berkampanye di Lampung,
Kamis (27/3). Berkampanye selaku Ketua Umum DPP Partai Demokrat (PD), SBY
mendapat sorotan karena dianggap menumpang pesawat yang disewa pemerintah.
Padahal, SBY datang ke Lampung sepenuhnya untuk urusan kampanye PD.
Kita tidak berada pada posisi
untuk menilai kebenaran fakta sesungguhnya dari dua kejadian di atas. Biarkan
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang akan menilainya. Namun, kita tetap tak pernah
berhenti berkata bahwa fasilitas negara adalah milik negara, yang sepenuhnya
digunakan untuk pelayanan kepentingan umum. Haram hukumnya fasilitas negara
digunakan untuk kepentingan partai politik.
Undang-undang, peraturan
pemerintah, hingga peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatur itu dengan
amat jelas. UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD melarang
pejabat negara menggunakan fasilitas negara. Pasal 85 Ayat (1) menegaskan
kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri,
gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota
harus memenuhi ketentuan: (a) tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan
jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan; dan (b) menjalani cuti di luar tanggungan
negara.
Larangan tersebut dipertegas
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2009 tentang Tata Cara bagi Pejabat
Negara dalam Melaksanakan Kampanye Pemilihan Umum. Pasal 21 Ayat (1)
menyebutkan dalam melaksanakan kampanye pemilu, pejabat negara dilarang
menggunakan fasilitas negara; memobilisasi aparat bawahannya untuk kepentingan
kampanye; menggunakan dan/atau memanfaatkan dana yang bersumber dari keuangan
negara baik secara langsung maupun tidak langsung; dan/atau menggunakan
fasilitas badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah.
Kalau memang semua aturan main
sudah amat jelas, lalu mengapa godaan penggunaan fasilitas negara untuk
kampanye politik masih saja terjadi? Sekali lagi, kita percayakan sepenuhnya
hal ini kepada Bawaslu. Berdasarkan ketentuan, para pejabat negara yang
melanggar ketentuan akan diberi sanksi oleh Bawaslu. Sanksinya, semua
tergantung dari Bawaslu.
Ini tentu bukan sebuah pekerjaan
ringan bagi Bawaslu. Apalagi pejabat negara yang terjun untuk berkampanye
politik juga tidak sedikit. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu II, misalnya,
terdapat 18 menteri dari partai politik, yakni Partai Demokrat (5 orang),
Golkar (3 orang), Partai Keadilan Sejahtera (3 orang), Partai Amanat Nasional
(3 orang), Partai Persatuan Pembangunan (2 orang), dan Partai Kebangkitan
Bangsa (2 orang). Di antara seluruh menteri ini, ada tiga menteri yang menjadi
ketua umum partai, yakni Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar,
Menteri Agama Suryadharma Ali, dan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta
Rajasa. Selain ke-18 menteri, tercatat juga 34 orang kepala daerah yang ikut
aktif berkampanye. Mereka terdiri atas 23 orang gubernur dan 11 wakil gubernur.
Belum lagi sederetan bupati dan
wali kota dari parpol yang pasti akan bekerja keras untuk kepentingan partai
yang mengusungnya. Di sanalah godaan penyalahgunaan fasilitas negara akan
sangat mungkin terjadi. Dengan jabatan yang disandangnya pula, mereka
berpotensi memengaruhi bawahannya di instansi yang dipimpinnya. Kembali lagi,
hal itu akan menyeret para bawahan untuk beramai-ramai memanfaatkan fasilitas
kantor yang dimiliki.
Itu semua adalah dampak dari
posisi seorang pejabat publik yang juga menyandang kedudukan sebagai petinggi
atau pemimpin partai politik. Masalahnya, kuatnya cengkeraman mentalitas
menjabat membuat seorang pejabat publik kerap tidak bisa membedakan mana
fasilitas negara, mana yang bukan. Makanya selain penegakan aturan soal
penggunaan fasilitas negara yang setegas-tegasnya, kita masih berharap para
pejabat menunjukkan kepatuhannya yang tulus kepada peraturan. Mereka harus jadi
contoh kepatuhan dan teladan ketaatan pada hukum dan aturan main yang ada di
negeri ini.
Jangan biarkan rakyat saja yang
disuruh mematuhi peraturan sementara para pejabat boleh melanggar hukum. Selama
tidak ada keteladanan yang ditunjukkan oleh pemimpin negeri dan para penegak
hukum, maka rakyat Indonesia barangkali akan semakin liar dan tidak beradab.
Senin, 09 September 2013 05:09
wib | Syamsudin Sidik - Sindo TV
TERNATE -
Kantor Wali kota Ternate, Maluku Utara (Malut), dijadikan panggung kampanye
pasangan Cagub dan Cawagub Malut, Ahmad Hidayat Mus-Hasan Doa (AHM-Doa), pada
pilkada putaran kedua.
Selain dijadikan tempat
kampanye, sejumlah ruangan kantor wali kota juga dipasang baliho bertuliskan
“Konsulidasi Pemenangan AHM-Doa Kota Ternate” di Pilkada Gubernur putaran ke
dua pada Rabu, 25 September 2013.
Kampanye pasangan AHM-Doa
di laksanakan di kantor wali kota Minggu (8/9/2013) sore ini juga diikuti PNS
dan sejumlah Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) Pemkot Ternate.
Anggota Bawaslu Kota
Ternate, Zen A Karim, menyesalkan atas tindakan Pemkot Ternate. Menurutnya, tidak
semestinya fasilitas pemerintah dijadikan sebagai tempat konsilidasi partai
politik.
"Ini tidak bisa dan
yang berhak menggunakan kantor wali kota hanya diperuntukkan ormas bukan
partai, apalagi kandidat gubernur. Yang dilakukan Pemerintah kota Ternate
dengan memberikan izin penggunaan kantor wali kota untuk kegiatan konsolidasi
pemenangan calon gubernur AHM-DOA sudah berada di luar prinsip kepantasan
politik," ujar Zen.
Selain itu, pelarangan
penggunaan gedung pemerintah daerah atau fasilitas negara bagi kegiatan politik
juga dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2012 maupun Peraturan Pemerintah.
"Langkah pemerintah
kota ini menunjukkan Pemkot Ternate sudah berpolitik praktis dengan mendukung
AHM-Doa sebagai pasangan cagub/cawagub,” tambahnya.
Menurutnya, alasan Pemkot
Ternate bahwa penggunaan kantor wali kota karena disewa kandidat gubernur
merupakan alasan yang tidak masuk akal dan hanya kamuflase. Pasalnya, jika
memang disewa, mestinya bisa menggunakan hotel dan gedung lain.
"Publik patut curiga
bahwa penggunaan kantor wali kota merupakan sebuah keperpihakan politik praktis
Wali Kota Burhan Abdurahman dan wakilnya Arifin Djafar serta aparatnya kepada
pasangan AHM-Doa,” tandasnya.
Untuk itu, pawaslu akan
memanggil wali kota dan wakilnya karena melakukan pelanggaran sebagai pejabat
negara dan membiarkan penggunaan fasilitas negara bagi kepentingan di luar
kedinasan.
Sementara itu, ketua DPR
Kota Ternate, Ikbal Ruray, mengatakan, kantor wali kota wajar saja dipakai
sebagai tempat rapat konsolidasi tim kemenangan AHM- Doa, karena tempat ini
bisa disewakan dan bisa digunakan. Menurutnya, berdasarkan Perda Nomor 11 Tahun
2010, yang terpenting penggunaan aula kantor wali kota di luar jam kerja. (Syamsudin Sidik/Sindo TV/tbn)
2.
Ekstorsi
a. Pegawai Pajak Dipaksa Lembur biar Pundi Negara Terisi
Ekonomi · 21 Nov 2013 17:33
Oleh Dny/Nur
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany mengaku
terpaksa 'mewajibkan' pegawainya untuk bekerja lembur agar bisa menggenjot
penerimaan pajak bagi negara.
Hal ini lantaran tidak imbangnya jumlah wajib pajak
dengan petugas pajak yang dimiliki lembaga pemungut pajak yang dipimpinnya.
"Saya terpaksa perintahkan para pegawai pajak
supaya nggak pulang jam 5 sore. Padahal jam kerjanya memang sampai jam
segitu, tapi sebelum jam 8 atau jam 9 malam, nggak ada yang boleh
pulang," ujarnya pada Seminar Politik Perpajakan untuk Meningkatkan Daya
Saing Nasional di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (21/11/2013).
Meskipun dia menyadari hal tersebut melanggar hak
pegawainya, namun keterbatasan personil mebuat harus dilakukan pengorbanan
supaya penerimaan pajak bisa maksimal.
"Ya memang terdengar melanggar hak pegawai,
tapi mau bagaimana lagi. Jumlah pegawainya saja hanya sedikit," lanjut
dia.
Dia mengatakan saat ini jumlah pegawai pajak hanya
sekitar 30 ribu orang. Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan 2006. Padahal
pegawai pajak saat ini harus berhadapan dengan 60 juta pembayar pajak.
Ini berbeda misalkan dibandingkan Jepang yang
warganya lebih sedikit, tetapi punya pegawai pajak hingga 66 ribu. Bahkan
Jerman 4 kali lipat dari Indonesia hingga 110 ribu.
Selain masalah pegawai, Fuad juga mengeluhkan masih
sedikitnya kantor pajak yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini
menyulitkan para wajib pajak karena harus menumpuh jarak yang jauh hanya untuk
membayar pajak.
"Saat ini kita cuma ada 331 kantor, paling
tidak kita butuh 200 kantor lagi. Ini supaya wajib pajak terutama di daerah
tidak perlu menempuh jarak yang jauh hanya untuk menyetorkan pajaknya, ini
kadang jadi kendala mereka," tandas dia.
(Dny/Nur)
b. PNS di Pemilu 2014 dan Kepala Daerah dari Parpol
b. PNS di Pemilu 2014 dan Kepala Daerah dari Parpol
Oleh Amril Jambak
Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 akan dilaksanakan dua kali, yaitu Pemilu Legislatif (Pileg) pada 9 April 2014 yang akan memilih para anggota dewan legislatif dan Pemilu Presiden (Pilpres) pada 9 Juli 2014 yang akan memilih presiden dan wakil presiden.
Pemilu 2014 belum
akan memakai e-voting, sebuah sistem baru dalam pemilihan umum. Keutamaan dari
penggunaan sistem e-voting adalah Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang
sudah mulai dipersiapkan sejak tahun 2012 secara nasional. Data terakhir,
sebelum Daftar Penduduk Pemilih Potensial (DP4), jumlah Daftar Pemilih Tetap
(DPT) pada Pemilu 2014 diperkirakan mencapai 185 juta jiwa, 4.467.982 orang
(data Januari 2013 yang dilansir Badan Kepegawaian Nasional) berasal dari
pegawai negeri sipil (PNS).
Pengamat politik
dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Irmon Machmud mengatakan,
sulit mewujudkan PNS netral dalam pemilu, terutama jika kepala daerah setempat
dari unsur partai politik (Parpol).
“Sesuai ketentuan
memang PNS harus netral dalam pemilu, tetapi realita selama ini PNS justru
selalu terlibat kegiatan politik praktis dalam setiap pelaksanaan pemilu,
terutama pilkada dan pemilu legislatif,” katanya di Ternate, Jumat.
Ketua Studi
Politik UMMU itu mengatakan, dalam pelaksanaan pilkada misalnya, PNS selalu
dijadikan alat bagi kepala daerah setempat untuk melakukan kegiatan politik
praktis bagi kepentingan calon kepala daerah yang didukung oleh kepala daerah
bersangkutan, terlebih jika kepala daerah itu adalah calon yang maju dalam
pilkada.
PNS tidak bisa
menolak karena konsekuensinya akan dikenai sanksi oleh kepala daerah, misalnya
PNS seorang pejabat akan dicopot dan jika hanya PNS biasa akan dimutasi ke
tempat yang jauh.
Praktik seperti
itu juga terjadi dalam setiap pelaksanaan pemilu legislatif, kata Irmon
Machmud, jika kepala daerah setempat adalah pengurus atau pimpinan salah satu
partai politik, sehingga tidak mengherankan jika disuatu daerah dipimpin oleh
parpol ‘X’ maka PNS di daerah itu harus mendukung parpol itu
“Kita selama ini
mendengar gubernur dan bupati/wali kota mengatakan kepada publik bahwa PNS
harus netral dalam pelaksanaan pilkada atau pemilu legislatif dan jika
melanggar akan dikenai sanksi tegas, tetapi yang terjadi kemudian adalah PNS
dipaksa untuk melakukan kegiatan politik praktis bagi kepentingan parpol yang
didukung gubernur dan bupati/ wali kota tersebut,” katanya.
Menurut dia, untuk
mewujudkan netralitas PNS dalam setiap pemilu maka perlu ada regulasi khusus
yang melindungi PNS untuk tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis, selain
itu pengurus parpol yang menjadi gubernur dan bupati/wali kota harus keluar
dari parpol.
Langkah lain yang
perlu diupayakan adalah pemberian sanksi tegas kepada kepala daerah yang
terbukti memaksa PNS terlibat kegiatan politik praktis sesuai keinginan kepala
daerah, misalnya sanksi berupa pencopotan dari jabatannya.
Penulis juga
menyadari apa yang diungkapkan Irmon Machmud. Memang tidak nyata, tapi
terencana dan tersusun rapi. Kadang kala terasa lekat terjadi di beberapa daerah
di Tanah Air. Sanksi tegas kepada pegawai yang tidak mendukung arahan pimpinan
dengan kata lain di-nonjob-kan hingga akhir masa jabatan kepala daerah yang
memenangkan Pilkada.
Di beberapa daerah
di Tanah Air saat ini, umumnya kepala daerah berasal dari parpol. Tentunya
masing-masing pimpinan parpol mendapat target dari parpol yang dinaunginya,
agar bisa meraih suara banyak dalam Pemilu 2014.
Agar dipandang
loyal, pimpinan parpol yang lebih tinggi, secara otomatis kepala daerah yang
berasal dari parpol tersebut, berusaha dan bekerja keras agar bisa memenangkan
parpolnya di daerah masing-masing. Cara lebih ampuh adalah memanfaatkan
jaringan terdekat, yakni PNS dan pegawai honorer di lingkungan sendiri.
Lalu, seperti apa
regulasi untuk menghambat masalah ini? Sudah saatnya penyelenggara pemilu
memikirkan langkah-langkah konkrit agar PNS bisa aman dan nyaman serta memilih
sesuai dengan hati nuraninya. Apakah keinginan mereka bisa terwujud? (Sumber: DetikNews.Com, 10 Maret 2014).
3.
MOTIVASI YANG TIDAK TEPAT
4.
Spoil system (system pilih
kasih)
Polisi Aceh Diminta Tak Pilih Kasih
BANDA ACEH -
Kepolisian di Provinsi Aceh diminta bertindak adil dalam menegakkan hukum
terkait meningkatnya kekerasan menjelang pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di
provinsi paling barat Indonesia itu.
Situasi Aceh Tengah dan Bener
Meriah berangsur normal.
Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Akbar Tanjung, mengatakan hal ini saat melakukan kunjungan ke Aceh, Kamis (20/3). "Aparat kepolisian di Aceh harus menjalankan fungsi dengan sebaik-baiknya terkait kondisi keamanan di Aceh menjelang pemilu," ujarnya.
Menurut Akbar, sebagai alat negara, aparat kepolisian juga harus bertindak adil dalam menegakkan hukum serta tidak membedakan-bedakan penanganan kasus. "Polisi juga harus menciptakan kehidupan yang aman dan nyaman bagi masyarakat, khususnya menjelang pemilu. Ini karena pemilu di Aceh tidak akan mungkin bisa sukses jika kondisinya tidak aman," kata Akbar.
Ia mengaku prihatin dengan meningkatnya aksi kekerasan menjelang pemilu di Aceh. "Semua kasus kekerasan yang terjadi harus segera diselesaikan polisi," katanya.
Ia juga mengajak semua pihak untuk terus meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia sehingga pemilu dapat berjalan bersih dan jujur. "Partai politik juga harus diperkuat agar mampu menjalankan fungsinya, baik itu fungsi pendidikan politik kepada masyarakat, fungsi menjembatani aspirasi rakyat, dan fungsi dalam memengaruhi kebijakan publik," tuturnya.
Sementara itu, Gubernur Aceh Zaini Abdullah setelah menggelar pertemuan dengan sejumlah unsur Muspida Provinsi Aceh mengatakan, menjelang pemilu, partai politik nasional dan lokal harus mengendalikan massanya agar tidak bertindak anarkistis. "Ini salah satu hasil pertemuan Muspida Aceh," ujarnya.
Pertemuan Muspida Aceh tersebut digelar setelah terjadinya kekerasan politik di Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Di dua kabupaten itu, massa Pembela Tanah Air (PeTA) yang mendukung pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) tersinggung dengan materi kampanye Partai Aceh yang dinilai menghina tokoh masyarakat di kawasan itu.
Tidak terima dengan penghinaan itu, massa PeTA merusak kantor Partai Aceh, membakar atribut kampanye Partai Aceh, dan merusak mobil serta sepeda motor.
Setelah kejadian tersebut, massa Partai Aceh menyisir Kota Takengon dan menyita atribut kampanye Tagore Abubakar, penggagas Provinsi ALA yang juga caleg Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Massa juga membakar posko Tagore yang juga mantan Bupati Bener Meriah itu, termasuk sejumlah mobil bak terbuka. Akibatnya sejak Selasa (18/3), hingga Rabu (19/3) malam, situasi dua kabupaten tersebut mencekam dan warga tidak berani keluar rumah.
Menyikapi situasi Gayo yang sempat memanas, Gubernur Zaini menggelar pertemuan tertutup dengan Kepala Kepolisian Daerah Brigjen Husein Hamidi, Kepala Staf Kodam Iskandar Muda Brigjen Purwadi, dan Kepala Kejaksaan Tinggi Tarmizi.
Salah satu hasil pertemuan tersebut, Muspida Aceh meminta partai politik berperilaku santun dalam berkampanye.
“Kami meminta partai politik, baik lokal maupun nasional, melaksanakan kampanye secara santun, tertib, dan damai,” kata gubernur.
Ia juga menyebutkan, kekerasan yang terjadi di Aceh Tengah dan Bener Meriah tersebut telah mengganggu ketenteraman masyarakat. "Pelaku kekerasan di Aceh Tengah dan Bener Meriah harus diproses sesuai dengan hukum dan kejadian seperti ini tidak terulang kembali," ujarnya.
Kapolda Aceh Brigjen Husein Hamidi menyebutkan, kondisi keamanan di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah telah normal. “Sudah kondusif. Kami berusaha situasi ini dipertahankan dan dipelihara dengan baik," kata Hamidi.
Kapolda Aceh juga menyebutkan, aparat kepolisian akan memeriksa kasus tersebut dan pelaku akan segera diproses hukum. "Saya berjanji kasus ini akan segera diselesaikan," ucapnya.
Contoh Kasus PATOLOGI DAN SITUASI INTERNAL BIROKRASI
Reviewed by Unknown
on
Tuesday, June 24, 2014
Rating:
No comments: